Kepada langit malam di awal tahun…

 

Maaf.. aku tak ikut serta menyapamu

Bersama orang-orang yang membakar sumbu penyulut api

Yang melesat menyentak lalu mewarnai  angkasamu

Menemani indahnya gemerlap bebintang dan sinar bulan

 

Maaf.. aku tak ikut mengelu-elukanmu

Bersama orang yang saling berpegang tangan dan menari bersama

Sembari menyaksikan dentum dan lengkingan irama konser khusus untukmu

Sembari meniupkan terompet penghormatan yang riuh menyambutmu

 

Aku lebih memilih di sini

Mencoba membakar setiap sumbu-sumbu dosa dan khilaf

Berharap semua melesat memenuhi angkasamu

Membiarkan mereka meledak lalu berpijar gemerlap

Lalu seketika itu juga gugur ditiup angin dan ditelan awan

 

Aku lebih memilih di sini

Bersama secarik kertas usang dan sebatang pena

Menggenggamnya erat, lalu menari bersamanya

 

Meneruskan barisan puisi yang tak mengenal titik

Menuliskan nada-nada lagu rindu, lagu tentang mimpi

Sesekali menghentakkan ujung pena, mencari ritme

Lalu melanjutkan goresan gambar sketsa hidupku.. juga matiku

 

010112

Tok.. tok.. tok…

“Assalamu’alaikum. . .”

Aku mencoba mengetuk pintu hatimu. Tapi tak kudengar jawab dari balik pintu itu. Entah, apakah kamu sedang  tak berada di sana, ataukah memang berat bagimu membukakan pintu untukku.

Memang, kesalahan dan khilafku sangat banyak. Terlalu banyak malah.

Ketika Allah membukakan lebar-lebar gerbang ampunan-Nya, maka tidak begitu dengan pintu maaf manusia. Karna gerbang ampunan-Nya dapat terbuka dengan kunci yang kita semua miliki, yaitu penyesalan dan taubat. Dan karna pintu maaf hanya dapat dibuka dari dalam oleh sang pemilik hati. Kunci itu berupa kelapangan dan keikhlasan yang hanya mampu disentuh oleh kesadaran dan ketulusan.

Tok.. tok.. tok…

“Assalamu’alaikum…”

Sekali lagi aku mencoba mengetuk pintu hatimu. Tak lama kemudian kudengar langkah-langkah kecilmu mendekati pintu ini. Tapi hanya mendekat.  Tanpa kudengar jawaban salam.  Tanpa membuka pintu itu sedikit saja. Itu memang hakmu. Karna hanya dirimu seorang yang memiliki kunci kelapangan dan keikhlasan untuk membukanya dari dalam sana.

“Aku tahu kamu ada di balik pintu ini,”, aku mulai bicara, “Dan aku tahu kesalahan dan kekhilafanku sangat banyak. Terlalu banyak. Baik yang kusadari atau tidak, baik yang kusengaja ataupun tidak.”

Aku bisa mendengar napas yang mendesah di balik pintu ini. Tapi masih tanpa kata-kata.

“Aku tahu, ketika mendengar suaraku, kamu akan kembali teringat setiap kata-kata  yang tajam, argumentasi yang menantang, kritikan yang pahit, dan canda yang menggores luka.”

“Aku tahu, ketika kamu nanti menatap mataku, kamu kembali akan teringat setiap pandangan sinis saat kamu memerlukan saran, setiap tatap acuh saat kamu butuh tempat berbagi, atau setiap sorot curiga saat kamu butuh kepercayaan.”
(more…)


Matahari senja di Ramadhan tahun ini telah menarik seluruh sinarnya. Pergilah sudah bulan suci itu. Yang tersisa hanyalah penyesalan. Selalu dan selalu ada penyesalan yang mengiringi kepergian Ramadhan di tiap tahunnya. Penyesalan atas amal-amal yang terlalaikan,siang yang tersia, malam yang terlewat. Semoga penyesalan yang menghujam ini akan menghantarkan pada rindu yang membuncah untuk bertemu lagi dengannya.

“Allahuakbar…Allahuakbar…Allahuakbar… Laa ilaha illallahu Allahuakbar

Allahuakbar… Walillahilhamd. . .”

Takbir mengalun merdu mengiringi perginya Ramadhan dan menyambut datangnya 1 Syawal. Ia adalah pekik girang kemenangan. Tapi ia juga merupakan lirih sendu perpisahan. Kemenanagan setelah berjuang menjernihkan hati,  melejitkan amal, melawan nafsu diri. Perpisahan yang menorehkan rindu yang cemas tidak akan bertemu lagi dengan bulan mulia itu. Semoga kita dipertemukan lagi oleh-Nya di Ramadhan selanjutnya.

Mohon Maaf lahir batin

Mohon maaf atas segala noda dan dosa, yang tersadar ataupun tidak, yang disengaja ataupun tidak.