image

Kaysa Syakira Haya.

Saya menulis ini sambil sesekali melirik dan menatap wajah imutnya. Mata yang bulat berbinar tertutup kelopak yang dihiasi bulu mata lentiknya. Tampaknya ia cukup pulas. Sesekali terbangun sebentar, terkejut hanya oleh kebisingan kecil. Bahkan dering handphone ini saya matikan demi kepulasannya itu. Selain karena kenyang setelah mimik, tampaknya ia cukup lelah setelah sibuk selfie dengan ayahnya tadi. (*salah satu fotonya dipajang di atas.. hhe)

Sudah 3 bulan usia kaysa sekarang. Sudah 3 bulan juga saya menjadi ayah.

Satu tahun ini status hidup saya berubah pesat. Dari bujangan hingga menjadi suami. Sekarang menjadi ayah.

Tidak bisa tergambarkan kegirangan dan syukur saat Kaysa sebagai janin tercitra saat USG pertama kami. Syukur itu selalu semakin membuncah dan melambung saat kontrol selanjutnya. Saat saya dengar detak jantungnya. Saat tubuh mungilnya mulai terbentuk, meringkuk, menggerakkan tungkai dan jemarinya.

Hingga 3 bulan yang lalu, yaitu 26 Juni, saat itu bertepatan dengan 9 Ramadhan, Kaysa mendesak mengisyaratkan mau keluar dari perut bundanya. Dari alam rahim, menuju alam dunia ini.

Mulai dari jam 9 malam sebelumnya, istri saya merasakan kontraksi yang teratur setiap 10 menit. Sakit tentunya. Hingga pukul 1 pagi, sakit itu tidak tertahankan lagi, hingga kami langsung meluncur ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, karena masih bukaan 2, istri ditempatkan dulu di kamar inap. Namun kontraksi itu makin sakit dan makin sering. Pukul 4 pagi, saat itu sahur, kontraksi itu muncul tiap 5 menit. Ketika diperiksa, ternyata sudah bukaan 5. Saya tidak bisa membayangkan sakit yang dialami istri saya waktu itu. Ia tampak begitu pucat. Merintih. Mencengkeram erat lengan saya, seolah ingin menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan itu. Saya hanya bisa berusaha menenangkan, sambil memijat pinggang dan punggungnya. Walaupun tampaknya pijatan itu tak mengurangi rasa sakit itu. Rasa sakit itu seperti pinggang terbelah katanya.

Saya pernah membaca artikel, Badan manusia hanya mampu menanggung rasa sakit hingga 45 Del. Tetapi selama bersalin ibu akan mengalami hingga 57 Del, sama dengan rasa sakit akibat 20 tulang yang patah bersamaan. Tak terbayangkan sakitnya. Saat itu istri saya seperti seorang pahlawan yang rela mengorbankan nyawanya untuk sesuatu yang ia yakini dan cintai.

Sebelum waktu shubuh masuk, istri saya dibawa ke ruang bersalin, memulai proses untuk melahirkan. Saat itu ternyata sudah bukaan 6. Sebentar lagi bukaan lengkap!

Bagi saya persalinan itu adalah percampuran sempurna rasa harap, cemas, khawatir, dan takut. Juga perpaduan sempurna antara pasrah dan doa.

Waktu sudah menapaki shubuh. Walaupn sakit, tapi saya tetap mengingatkan agar istri saya shalat shubuh. Dan walau sakitnya semakin jadi, ia tetap berusaha untuk tidak kehilangan shalat shubuh. Ringkih shalatnya. Sambil duduk. Dan masyaAllah, ternyata – istri saya menceritakannya baru-baru ini – saat shalat itu, rasa sakitnya hilang. Setelah salam penutup, barulah sakitnya terasa lagi. Setelah itu, barulah giliran saya shalat.

Setelah shalat, ternyata mertua sudah datang. Ibu mertua dan adik ipar saya sudah menemani di ruang bersalin. Waktu itu posisi saya di dekat kepala istri. Bertugas memberi semangat dan menggenggam erat lengannya. Bidan melarang saya di posisi bawah. Terlalu banyak darah yang keluar. Katanya, banyak suami yang tidak kuat melihatnya. Bahkan ada yang sampai pucat dan pingsan.

Saat bukaan lengkap, dokter spesialis kebidanan dihubungi. Tak lama, dokter itu hadir dan memimpin proses kelahiran.

Pukul 05.57..

Akhirnya kepala mungil itu keluar. Seorang bayi perempuan. Lebat rambutnya. Penuh dengan merah darah. Tangisannya menandakan persalinan itu sukses dengan berat 3 kg dan panjang 47 cm. Bayi itu lalu ditelungkupkan di dada bundanya. Pelukan pertama. Biarkan kulitnya bertemu langsung dengan kulit ibunya untuk membangun emosi ibu dan anak. Sedangkan ayahnya, mendekatkan bibirnya ke telinga anaknya, membisikkan “iqomah”, agar kalimat Allah yang pertama kali didengarnya di dunia.

Pelukan pertama itu sebenarnya dokter tengah menjahit ‘bekas’ persalinan. Tanpa bius. Tapi kebahagiaan atas lahirnya anak yang dinanti membuat sang bunda lupa akan rasa sakit itu.

Kelahiran itu hampir semuanya sesuai dengan doa dan harapan kami: Di bulan Ramadhan, hari jumat, persalinan normal, persalinannya cepat (dari masuk rumah sakit sampai lahir tidak sampai 5 jam. Padahal kebanyakan ibu-ibu bisa 12 jam, 24 jam, bahkan lebih), berat 3 kg, dan sehat tanpa kurang apapun.

Kaysa Syakira Haya.

Sudah 3 bulan usia kaysa sekarang. Sudah 3 bulan juga saya menjadi ayah.

Tidak mudah memang. Tapi saya belajar banyak. Saat bundanya bertanggungjawab akan pemasukannya (memberi, memerah asi dan menyimpannya), ayahnya bertanggungjawab akan pengeluarannya (peeps dan poops). Apalagi di minggu-minggu pertama. Sangat berat. Bergadang karena tangisannya. Setiap 1 jam mimik. Di awal-awal juga belum pakai diapers, untuk menghindari iritasi kulit dan memantau frekuensi pipisnya. Tiap hari saya nyuci. Nyikat bekas poops juga 😥

Kaysa Syakira Haya.

Tahukah kalian apa artinya? Dua nama di belakang saya yang memberinya. Sedang nama depan, bundanya yang memilih. Nama adalah doa bukan? “Kaysa” berarti cerdas, diambil kata dalam bahasa Arab, “kayyis”. Lalu “Syakira” artinya bersyukur. Lalu “Haya” punya banyak makna. Ada 3 derivat kata dalam bahasa Arab yang berarti: kehidupan, hujan, dan malu. Lalu Haya juga bisa didapat dari gabungan nama ayah dan bundanya. Memang saya tidak mengerti kaidah bahasa arab, tapi karena nama itu doa, dan Allah maha mengerti setiap bahasa doa kita, maka doa tersebut kurang lebih seperti berikut:

Semoga anak kami menjadi:
Gadis cerdas yang mensyukuri kehidupan.
Gadis cerdas yang mensyukuri turunnya hujan.
Gadis yang cerdas, selalu bersyukur dan pemalu.
Gadis cerdas yang bersyukur menjadi anak Hasbullah dan Rian.

Ya Rabb, kabulkanlah doa kami itu. Jadikan ia anak yang sholehah. Tumbuh sehat dan membanggakan kami. Menjadi satu dari amal yang takkan terputus bagi kami. Aamiin.