Lagi-lagi hujan tercurah dari langit-langit kota Palembang Darussalam, membasahi kota tua itu, dan menghentikan aktivitas bepergian sebagian warganya. Aku juga termasuk warga yang terpaksa harus berteduh tersebut. Tidak bisa tidak, karena tidak diragukan lagi, mengendarai motor dengan diguyur hujan seperti ini akan membawa sang pengendara basah kuyup. Dan tentunya, yang paling dikhawatirkan adalah basahnya juga laptopku ini, lalu rusak. Tentu, hal itu akan menghambat proses menulis dan mendesain.

Cukup. Sudah terlalu panjang intronya.


Hari ini lagi-lagi aku diajarkan oleh orang – yang mungkin – selalu dipandang sebelah mata oleh orang-orang Palembang pada khususnya, dan penduduk dunia pada umumnya. Dia adalah seorang tukang parkir. Benu namanya, seorang bocah tukang parkir.

Sehabis shalat zhuhur, sembari berteduh di bawah atap Masjid Agung Palembang, perut ini berontak ingin dipenuhi haknya. Sangatlah manusiawi, karna memang ini sudah masuk jadwal makan siang. Ditambah lagi, aku baru sampai dari perjalalan sejauh 32 km dari kampus.

Begitu hujan mulai mereda, aku langsung berinisiatif mengganjal perut dengan model ikan (makanan khas Palembang) yang gerobaknya terparkir di bawah pohon yang cukup rindang. Lalu tak jauh dari situ, aku melihat bocah tukang parkir itu sibuk merapikan barisan motor sambil mengelap jok-jok motor yang basah terguyur hujan. Kalau tukang parkir yang ‘tidak baik’, biasanya hanya muncul ketika pemilik motor hendak mengambil kembali motornya, lalu menyodorkan tangan meminta uang parkir. Tapi tidak dengan bocah itu. Aku belum melihat ada orang yang hendak mengambil motor. Tapi bocah itu dengan semangatnya memainkan lap lusuhnya untuk membersihkan jok-jok motor yang pemiliknya pun ia tak kenal yang entah berapa lama lagi markir di situ. Di sini aku diajari bocah itu tentang etos kerja. Tentang totalitas dalam bekerja.
(more…)